RESENSI FILM Cahaya Cinta Pesantren: Tentang Cinta Lagi. Tentang Cita-Cita Lagi.

Wayan Diananto | 13 Januari 2017 | 18:20 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Sekali lagi, ini tentang pendidikan dan agama yang diyakini sebagai senjata pengubah nasib. Meski kondisi si pengguna senjata melarat sekali pun. Hanya, dituturkan dengan latar belakang budaya nyantri yang kental. Saking kentalnya, kita menjadi akrab dengan kosa kata “ukhti” dan beberapa panggilan lain. Seberapa mampu film ini merangkul hati masyarakat dan apakah batin jutaan anak baru gede kemudian tercerahkan?

Shila (Yuki) merasa pesantren bukan tempat yang tepat baginya. Beberapa kali ia mencoba keluar dari pesantren dengan berbagai cara. Mulai dari kabur pakai mobil pengangkut sayur hingga pura-pura sakit. Hubungan Shila dan pesantren seperti pepatah “tak kenal maka tak sayang”.

Lelah mencoba, Shila mencoba melihat lingkungan sekitar. Ia berkenalan dengan Manda (Febby), Icut (Vebby), dan Aisyah (Sivia). Empat gadis ini kemudian menjadi akrab. Di pesantren, Shila jatuh hati pada Rifqi (Fachri). Di tempat itu pula, ia dikejar-kejar oleh Abu (Rizky). Perlahan, Shila menemukan arti cinta dan persahabatan. Ia sadar bukan hanya dirinya yang punya persoalan.

Ini masih soal cinta dan cita. Ini masih soal anak muda yang berupaya mengubah nasib dan mempertanyakan apakah lawan jenis menarik yang pertama kali dilihatnya akan jadi cinta pertama sekaligus terakhir. Dua tema besar yang disodorkan, sebenarnya tidak baru. Yang membuatnya sekilas tampak gres, latar belakang dan budaya pesantren. Sementara yang membuat Cahaya Cinta Pesantren masih asyik dinikmati, akting Yuki Kato.

Aksen Sumatera Utara yang ditampilkannya terdengar konsisten sejak awal hingga film ini berakhir. Raut muka, pergerakan badan, hingga cara memandang lawan main membuat Yuki tampak bersinar dibandingkan dengan yang lain. Di tangan Yuki, karakter Marshila Silalahi tampak hidup.

Ada sebuah momen ketika Shila dihadapkan pada kehilangan. Lalu, air muka Yuki memerah dan matanya berlinang. Momen itu mengingatkan saya bahwa aktris muda ini sebenarnya memiliki peluang besar untuk lebih bersinar pada masa mendatang. Ia hanya perlu diberi kesempatan lebih banyak dan lebih cermat dalam memilih peran. Sayangnya, hal itu kurang diimbangi pemeran lain.

Dalam banyak momen, alur ceritanya film ini terasa tumpang tindih. Kalau tidak tumpang tindih, beberapa adegan terasa kelamaan dan chemistry empat siswi pesanten mengering. Beberapa adegan yang mestinya mampu membuat penonton haru lalu meneteskan air mata, gagal mencapai tujuannya. Penyebabnya ya itu tadi, Raymond terlalu lama merentang momen sementara editor (penyunting gambar) kurang luwes.

Adegan terakhir misalnya, mestinya menjadi menit-menit paling krusial. Saat tokoh utama menyampaikan pesan, saat itulah emosi penonton diaduk dan dipermainkan. Tapi, itu tidak terjadi. Yuki tampil maksimal. Di sisi lain, alur cerita sudah ditebak sementara yang disampaikan karakter utama terasa berkepanjangan. Akhirnya, malah antiklimaks.

Cahaya Cinta Pesantren sekali lagi, masih soal cinta-cinta lagi dan cita-cita lagi. Sejumlah pemain di film ini apik. Sayang, banyak adegan yang direntang dan dibiarkan panjang. Penonton memang butuh detail. Namun, tidak setiap detail harus dituturkan hingga titik. Kadang, kita butuh sebuah adegan berakhir dengan “koma” untuk kemudian dilanjutkan pada momen lain.

Di atas kekurangan dan kelebihan itu, kita patut mengapresiasi upaya Raymond (yang kita kenal lewat film I Love You Mas Bro) dan Anggoro Saronto (penulis naskah film Sang Kiai dan Malaikat Tanpa Sayap-red). Mereka berupaya menjadikan kisah ini manis dan dekat dengan anak muda maupun mereka yang berjiwa muda. Selebihnya, respon pasar yang menentukan.

Pemain: Yuki Kato, Febby Rastanty, Vebby Palwinta, Sivia Azizah, Rizky Febian, Fachri Muhammad
Produser: H. Yusuf Mansur
Sutradara: Raymond Handaya
Penulis: Anggoro Saronto, Ira Madan
Produksi: FullFrame Pictures
Durasi: 2 jam, 24 menit

(wyn/ray)

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait